"Kesunyian Intelektual di Kampus"
"Kesunyian Intelektual di Kampus"
Oleh : Mario (M3)
Aral terbentang dari ufuk timur sampai ufuk barat, dari selatan ke utara. Sketsa di atas merupakan gambaran betapa indahnya tugas seorang intelektual, Senjata mereka adalah buah pikiran yang idealnya dituangkan dalam bentuk tulisan agar abadi dalam kesunyian. Di negeri ini amat sunyi karya-karya tulis seorang intelektual yang indikatornya ditunjukkan oleh rendahnya buku-buku yabg diterbitkan. Di dalam kesunyian kampus banyak terjadi kemandegan intelektual kritis, dan para mahasiswa banyak mengalami kesulitan untuk menuangkan karya ilmiah, jangankan dalam bentuk skripsi atau tugas akhir, untuk sekedar membuat peper saja banyak di antara mereka yang harus menjiplak dan mengobrak-abrik bursa buku bekas di pasar-pasar Google. Demikian pula para dosen besar yang mestinya jadi panutan juga tengah dilanda kesunyian intelektual kritis. Ia sibuk menjabat di kantor pemerintahan atau kampus, mengasong ilmu diberbagai perguruan tinggi, atau sibuk berseminar dengan makalah yang sama di berbagai tempat dan hanya mengandalkan lisannya saja untuk menggelabuhi mahasiswanya. Dalam hitungan matematis, ber-lisan-ria dalam berbagai seminar memang menguntungkan secara material, karena honornya besar. bandingkan dengan kalau ia membuat buku bermutu, ia harus betapa lamanya itupun belum tentu laku dijual. karenanya wajar di negeri ini tidak ada buku-buku bermutu yang dihasilkan kaum intelektual khususnya yang menjadi dosen saya setiap harinya di kampus. Namun dalam kesunyian yang seperti hanya ada satu dua orang dosen yang rajin menulis padahal jumlah dosennya ribuan orang, apalagi kaum mahasiswanya, dimana kau mahasiswa?? dimana kau para dosen yang katanya mencerdaskan kehidupan bangsa.?? Sungguh sangat terlalu bila hari ini tidak ada panutan bagi para mahasiswa yang hidup di era infotek dan biotek. Sebagian besar kaum mahasiswa juga sudah banyak yang terjebak di dunia kapiltalistik, yang berangkat ke kampus hanya sekedar ritual saja, tanpa niatan tulus untuk mengembangkan intelektualitas kritisnya. indikatornya jelas, ia males mengerjakan tugas, males membeli buku, males membaca, males menulis, males berdiskusi dalam kelas. mareka hanya sibuk menyembah simbol-simbol keilmuan tanpa nafsu dan perasaan untuk mengembangkan intelektualitas dan buku-buku yang bermutu. targetnya sederhana, dapat simbol intelektual yang berupa Ijazah, diterima bekerja di pabrik dengan harapan hidup kaya raya sebagaimana diajarkan di youtube-youtube dan TV-TV swasta di negeri ini. Ketika nabi muhammad bertapa di Gua Hira, perintah Allah yang pertama yang diterimanya adalah perintah " *bacalah* ". apa yang di baca Qur'an pun belum ada? jelas yang harus di baca adalah persoalan dan fenomena yang ada disekelilingnya. anehnya banyak yang mengamalkan budaya membaca adalah bukan umat muhammad, namun bangsa barat. kalau kita rajin melihat acara dan konten-konten youtuber yang bermakna, alangkah mengagumkannya seorang peneliti atau calon doktor rela hidup puluhan tahun di hutan hanya untuk melihat prilaku monyet atau seekor laba-laba. Demikian pula seorang antropolog wanita asal AS behkan rela menjadi isteri seorang kepala suku di Lembah Baliem Irian Jaya hanya agar ia lebih mudah untuk mempelajari perilaku suku tersebut. adakah di negeri ini seorang ilmuan atau di kampus yang berprilaku gila sebagaimana ditunjukkan oleh bangsa barat?? jelas hampir tidak ada, bangsa ini males membaca dan itu di mulai sejak SD dengan kurikulum resmi pula. Kurikulum sejak SD mengajarkan bahwa yang penting untuk bekal sekolah adalah menghafal, dan bukan mengerti atau memahami. Siswa dan mahasiswa harus duduk manis dan menurut perintah dosen atau gurunya, tidak boleh banyak cerita apalagi protes kalau siswa mungkin di hukum dilapangan dengan wajah menghadap ke sangsaka merah putih, kalau mahasiswa mungkin nilai IPKnya jelek. palajaran mengarang atau reportase, bahkan mendongeng lama gaib dari dunia perkuliahan atau dunia persekolahan. Hasilnya adalah Robot-Robot yang setia miskin kreativitas.
Komentar
Posting Komentar